Free writing: Hal Berkesan dalam hidup
Hai ini sefa. Beberapa orang biasa memanggil aku dengan Sefani atau Dava. Ya, Dava itu nama laki-laki bukan? Kalau sekarang aku mengubah nama panggilan tersebut agar orang-orang tidak salah mengira lagi.
Ada pengalaman lucu yang mau aku bagikan tentang nama panggilan yang 'sering' membuat orang salah paham. Contohnya saat teman SMA ku, yang hampir ribut dengan pacarnya karena mengira dia main dengan cowo lain. Atau saat Ibu temanku yang khawatir mengira anaknya pulang diantar cowo saat selesai latihan nari. Jadi harusnya jelas ya.. kenapa aku mengubah nama panggilan. Coba bayangkan kalau saat kuliah dosen mengira aku laki-laki karena nama panggilan tersebut? Bisa-bisa jadi repot lagi.
Sepertinya cukup, untuk perkenalan tentang Sefani sih mahasiswi baru yang sedang stress untuk beradaptasi dengan dunia perkuliahan. Sekarang aku mau menceritakan beberapa pengalaman yang cukup berkesan untuk diriku, atau mungkin pengalaman inilah yang menjadi alasan untuk aku, merubah diri.
Sebagai anak pertama dan juga seorang kakak, aku dulu di didik aga keras dibanding dengan adik laki-lakiku. Aku masih mengerti, karena orang tuaku juga masih berproses menjadi orang tua ketika mereka mendapat aku. Belum paham dan masih salah dalam mendidik. Sedari kecil aku biasa dijaga oleh Opa dan Oma saat mereka sibuk bekerja. Karena Opa terbiasa untuk melakukan kegiatan di Gereja sebagai seorang majelis, beliau biasa membaca dan menuliskan rangkuman ayat Alkitab untuk dipelajari. Itu pemandangan biasa yang sering anak kecil ini lihat saat bermain dirumah Opa dan Oma-nya.
Mungkin karena itu, jadinya aku lebih sering mengutarakan perasaan dengan menulis. Karena aku sadar, aku tidak cukup pandai berkata-kata manis atau secara lisan mengekspresikan perasaan. Tapi semakin beranjak dewasa, aku sangat jarang menyentuh buku walau hanya sekadar menuliskan perasaan hari ini, atau mengisi waktu luang membuat cerita. Terakhir aku berhenti menulis diary itu saat kelas 3 SMP, karena kesibukan dan persiapan untuk masuk SMA.
Memasuki masa SMA, yang kata orang adalah masa-masa indah saat sekolah membuat aku bertekad untuk berubah. Karena sering jadi pribadi yang selalu menahan untuk bicara dan lebih banyak dituangkan kedalam tulisan, aku mulai memberanikan diri untuk bersosialisasi dan bicara di depan orang banyak. Dari situ aku jadi belajar kalau tidak seburuk itu ya untuk bersosialisasi. Ternyata tidak semenakutkan itu untuk melontarkan pendapat dan tidak perlu ragu untuk mulai bicara. Hal tersebut cukup untuk mengubah pribadiku sampai pada hari ini. Ditambah lagi punya teman-teman baik yang senantiasa merangkul dan selalu ada untuk saling mengingatkan, bahwa kita sama-sama berproses di masa-masa SMA ini. Aku sangat bersyukur.
Namun hidup, tidak sepenuhnya berjalan dengan mulus. Aku pikir aku sudah sampai di ending, tapi ternyata aku masih berjalan dipertengahan. Tidak, mungkin aku baru saja mulai. Aku pikir masalah-masalah yang sudah aku alami cukup untuk menjadikan ku seorang Kakak dan anak pertama yang dewasa. Tapi Sang Penulis kehidupan ingin aku belajar bahwa semua yang ada didunia ini tidaklah sempurna. Tenang, aku anak yang mengerti kondisi, aku tidak menyalahkan orang-orang yang melukai hati dan mentalku. Aku justru berterimakasih karena mendapat rasa sakit yang bisa membuatku belajar bahwa semua tidaklah sempurna dan itulah kehidupan. Dunia tidak berhenti jika kamu terluka, semua terus berjalan dan bumi tetap berputar. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi, aku tidak tahu kalau sapaan terakhir ku kepada bibi adalah untuk terakhir kalinya di Gereja. Teman karib yang aku anggap adik dan aku percaya ternyata menusuk dari belakang. Rumah yang harusnya menjadi tempat untuk berpulang, malah menjadi tempat yang tidak aman dan memberikan rasa sakit serta hal-hal lain, yang 'sulit' untuk aku ceritakan disini tetapi, banyak mengubah ku untuk menjadi lebih kuat.
Dari semua itu ada seseorang yang sempat menemani menjadi tempat bercerita, baik suka maupun duka. Berbagi canda dan tawa, sampai lupa kalau kitakan 'teman'? Lalu benar, kita gagal menjadi teman. Seperti kutipan Lina Mukherjee yang viral, kalian tau?
"cinta adalah permainan, siapa yang terlalu menunjukkan perasaannya dia yang akan kalah." Itu lucu menurutku.
Karena pada akhirnya, yang memilih mengalah itu aku.
Jadi, semua itu merupakan hal yang berkesan untuk seorang sefani, mengubah diri dan mengajarkannya untuk berkehidupan lebih baik. Banyak hal, tapi intinya kita harus terus belajar, kita tidak akan pernah berhenti untuk belajar dan bekerja di kehidupan ini, setidaknya pelajaran yang kita dapat, rasa sakit yang kita dapat menjadi bumbu perjalanan kita untuk terus melangkah ke depan.
Hai untuk yang terakhir, ini sefa dan ini tulisannya, kalau kalian menyuruh dia untuk menceritakan secara lisan dia tidak bisa, karena semua sudah berakhir menjadi tulisan seperti yang kalian baca sekarang.
Sekian dan terimakasih.
Comments
Post a Comment